Pasarnarasi.com – Kasus pengeroyokan terhadap dua orang yang dikenal sebagai mata elang (debt collector lapangan) di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, memasuki babak baru. Sebanyak enam anggota kepolisian resmi ditetapkan sebagai tersangka dan sekaligus dinyatakan melanggar kode etik berat, menyusul hasil penyelidikan pidana dan pemeriksaan etik internal yang dilakukan aparat penegak hukum.
Pengumuman tersebut disampaikan oleh pihak kepolisian setelah rangkaian proses penyelidikan, pemeriksaan saksi, serta pengumpulan alat bukti dinyatakan cukup. Penetapan status tersangka menandai keseriusan aparat dalam menindak dugaan tindak pidana yang melibatkan anggotanya sendiri.
Kronologi Singkat Peristiwa
Peristiwa pengeroyokan itu terjadi di kawasan Kalibata dan sempat menyita perhatian publik setelah video dan kesaksian korban beredar luas. Dua korban dilaporkan mengalami kekerasan fisik yang dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah oknum aparat. Kasus ini memicu reaksi keras masyarakat karena diduga melibatkan penyalahgunaan kewenangan dan tindakan di luar prosedur hukum.
Penyelidikan kemudian dilakukan secara paralel, baik melalui proses pidana umum maupun sidang kode etik profesi Polri. Hasilnya, enam anggota polisi dinyatakan memiliki peran aktif dalam peristiwa tersebut.
Status Tersangka dan Proses Hukum
Penetapan keenam polisi sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik menyimpulkan adanya unsur pidana dalam tindakan pengeroyokan. Para tersangka akan menjalani proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kemungkinan penahanan dan pelimpahan berkas ke kejaksaan.
Pihak kepolisian menegaskan bahwa penanganan perkara ini dilakukan secara transparan dan profesional, tanpa pandang bulu. “Setiap anggota yang terbukti melanggar hukum akan diproses sesuai aturan, baik pidana maupun etik,” ujar perwakilan kepolisian dalam keterangan resminya.
Pelanggaran Etik Berat
Selain proses pidana, keenam polisi tersebut juga dinyatakan melanggar kode etik berat. Pelanggaran ini mencakup tindakan kekerasan, penyalahgunaan wewenang, serta perbuatan yang mencoreng nama baik institusi Polri. Sanksi etik yang menanti dapat berupa penempatan khusus, demosi, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), tergantung hasil sidang etik lanjutan.
Langkah tegas ini disebut sebagai bagian dari komitmen Polri dalam memperkuat reformasi internal dan menjaga kepercayaan publik.
Respons Publik dan Pengamat
Kasus ini menuai perhatian luas dari masyarakat sipil dan pengamat hukum. Banyak pihak menilai penetapan tersangka dan sanksi etik sebagai ujian integritas institusi kepolisian. Pengamat menekankan pentingnya konsistensi penegakan hukum agar tidak muncul kesan impunitas terhadap aparat.
Di sisi lain, langkah cepat dan terbuka yang diambil aparat diapresiasi sebagai sinyal positif bahwa pelanggaran oleh oknum tidak ditoleransi.
Kesimpulan
Kasus pengeroyokan dua mata elang di Kalibata yang menyeret enam anggota polisi menjadi pengingat pentingnya akuntabilitas dan profesionalisme aparat penegak hukum. Dengan diumumkannya status tersangka dan pelanggaran etik berat, proses hukum kini menjadi penentu akhir pertanggungjawaban para pelaku.
Publik berharap penanganan kasus ini berjalan tuntas dan adil, sekaligus menjadi momentum perbaikan internal agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.