Pasarnarasi.com – Indonesia menghadapi ancaman meningkatnya banjir dan longsor akibat perubahan iklim, curah hujan ekstrem, dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Fenomena ini menuntut sektor properti untuk berinovasi melalui konsep pembangunan hijau atau green building, yang mampu memitigasi risiko bencana sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Beberapa wilayah di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan menjadi sorotan karena rawan banjir dan tanah longsor. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat lebih dari 1.200 titik rawan banjir di 2025, sementara ancaman longsor terjadi di lebih dari 600 lokasi perbukitan dan lereng. Fenomena ini berdampak langsung pada keselamatan masyarakat, kerusakan infrastruktur, dan nilai properti.
Penerapan Properti Hijau sebagai Solusi
Sektor properti menyikapi ancaman ini dengan mengembangkan bangunan hijau yang ramah lingkungan dan beradaptasi terhadap risiko bencana. Properti hijau tidak hanya menekankan efisiensi energi dan penggunaan material ramah lingkungan, tetapi juga solusi pengelolaan air hujan, sistem drainase efektif, serta penanaman vegetasi untuk menahan longsor.
Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Properti Indonesia (APPI), Iwan Santoso, pengembang kini mulai memasukkan desain tahan banjir dan mitigasi longsor dalam proyek residensial dan komersial.
“Bangunan hijau bukan sekadar tren, tetapi menjadi kebutuhan strategis untuk melindungi masyarakat dan aset dari risiko alam,” ujarnya.
Salah satu inovasi yang diterapkan adalah atap hijau, kolam resapan, dan taman vertikal untuk menahan limpasan air hujan. Beberapa pengembang juga mulai memanfaatkan teknologi permeabel pada jalan dan trotoar untuk mengurangi risiko banjir di kawasan perkotaan. Sistem ini terbukti mampu menahan hingga 30–50% air hujan yang biasanya mengalir ke saluran pembuangan, sehingga mengurangi tekanan pada infrastruktur drainase kota.
Manfaat Lingkungan dan Sosial
Selain mitigasi bencana, properti hijau memberikan manfaat lingkungan yang signifikan. Vegetasi tambahan pada bangunan membantu menurunkan suhu lingkungan, meningkatkan kualitas udara, dan menyerap karbon dioksida. Dari sisi sosial, masyarakat yang tinggal di kawasan hijau cenderung lebih sehat, nyaman, dan memiliki kualitas hidup lebih baik.
Dalam beberapa proyek perumahan baru, pengembang juga melibatkan komunitas lokal untuk menanam pohon di area kritis dan membangun taman resapan yang dapat menahan air hujan serta mencegah longsor. Inisiatif ini dianggap penting untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hijau dan mitigasi risiko bencana.
Dorongan Pemerintah dan Kebijakan Mendukung
Pemerintah memberikan dukungan melalui regulasi dan insentif bagi pengembang yang menerapkan prinsip bangunan hijau. Salah satunya adalah Peraturan Menteri PUPR No. 15 Tahun 2024 tentang Bangunan Ramah Lingkungan, yang mendorong penggunaan teknologi hijau dan desain adaptif bencana dalam proyek baru.
Selain itu, berbagai daerah rawan banjir seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang mulai menerapkan zonasi bangunan hijau serta kewajiban ruang terbuka hijau minimal 30% di kawasan perumahan dan komersial. Kebijakan ini diharapkan memperkuat ketahanan kota dan menekan risiko bencana di masa depan.
Masa Depan Properti Hijau di Indonesia
Dengan risiko banjir dan longsor yang meningkat, properti hijau menjadi solusi berkelanjutan yang menjawab tantangan iklim dan urbanisasi. Integrasi teknologi, vegetasi, dan desain adaptif bencana menjadikan pembangunan lebih aman, ramah lingkungan, dan nyaman bagi masyarakat.
Para pengembang optimis bahwa tren ini akan terus meningkat, tidak hanya untuk mitigasi bencana, tetapi juga sebagai strategi investasi jangka panjang yang memberikan nilai tambah bagi pemilik properti. Dengan dukungan pemerintah, sektor properti di Indonesia diharapkan mampu membangun kawasan yang aman, hijau, dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.