Pasar Narasi – Bisnis thrifting atau penjualan pakaian bekas kian populer di Indonesia, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z yang mencari pakaian unik dengan harga terjangkau. Namun, pernyataan terbaru dari Dirjen Pajak Purbaya menegaskan bahwa meski pelaku usaha membayar pajak, bisnis thrifting tetap dianggap ilegal dan tidak diizinkan secara resmi. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha, sekaligus menyoroti regulasi dan tantangan hukum di industri fashion bekas.
1. Tren Bisnis Thrifting yang Meningkat
Bisnis thrifting belakangan ini mengalami lonjakan signifikan di Indonesia. Platform online seperti Instagram, TikTok, dan marketplace menjadi media utama untuk menjual pakaian bekas dengan harga bersaing. Selain itu, tren keberlanjutan atau sustainability fashion membuat thrifting semakin diminati karena dianggap ramah lingkungan.
Banyak konsumen muda melihat thrifting sebagai cara untuk memiliki pakaian berkualitas dengan harga lebih murah, sekaligus mendukung gaya hidup lebih sadar lingkungan. Tak jarang, pakaian bekas branded dijual dengan harga yang masih cukup tinggi, mencerminkan daya tarik pasar yang besar.
2. Klarifikasi Purbaya tentang Status Hukum Thrifting
Dirjen Pajak, Purbaya, menegaskan bahwa meski pelaku bisnis thrifting membayar pajak penghasilan dari penjualan, hal tersebut tidak serta merta membuat bisnis ini legal. Alasannya, regulasi terkait distribusi barang bekas di Indonesia belum memberikan izin resmi bagi aktivitas komersial semacam ini.
Menurut Purbaya, pembayaran pajak hanya mencatat aktivitas ekonomi, tetapi tidak mengubah status hukum produk atau izin usaha. Dengan kata lain, pajak tidak bisa dijadikan bukti legalitas untuk menjual pakaian bekas secara massal atau komersial. Pernyataan ini menegaskan bahwa bisnis thrifting tetap masuk kategori ilegal hingga ada regulasi khusus yang mengaturnya.
3. Alasan Bisnis Thrifting Dianggap Ilegal
Salah satu alasan utama bisnis thrifting dianggap ilegal adalah karena potensi masalah kesehatan dan keamanan. Pakaian bekas yang dijual kembali bisa membawa kuman, jamur, atau kontaminan lain yang membahayakan konsumen. Regulasi kesehatan dan perlindungan konsumen mensyaratkan standar tertentu untuk produk yang dijual kembali, dan banyak usaha thrifting belum memenuhi standar tersebut.
Selain itu, distribusi barang bekas juga dapat menimbulkan persoalan legalitas terkait asal-usul produk. Barang-barang bekas yang diperoleh secara tidak resmi atau tanpa izin bisa dianggap melanggar hukum. Dengan demikian, meski pembayaran pajak dilakukan, hal ini tidak mengubah status barang yang dijual.
4. Dampak Pernyataan Purbaya bagi Pelaku Usaha
Pernyataan ini memicu reaksi beragam dari pelaku usaha thrifting. Beberapa pihak merasa kebijakan ini membatasi kreativitas dan peluang bisnis, terutama bagi usaha kecil yang memanfaatkan thrifting sebagai sumber penghasilan.
Namun, sebagian lain menganggap ini sebagai peringatan penting agar bisnis dijalankan lebih transparan dan sesuai regulasi. Pelaku usaha diharapkan tetap mematuhi hukum, termasuk memperoleh izin resmi atau mencari alternatif usaha yang legal jika ingin tetap beroperasi.
5. Upaya Pemerintah dalam Regulasi Bisnis Thrifting
Meski bisnis thrifting masih dianggap ilegal, pemerintah menunjukkan niat untuk mengatur sektor ini di masa depan. Beberapa kementerian tengah merumuskan regulasi terkait distribusi dan penjualan barang bekas yang aman dan legal.
Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara peluang ekonomi, perlindungan konsumen, dan keamanan produk. Dengan regulasi yang jelas, pelaku usaha thrifting dapat beroperasi secara legal, tetap membayar pajak, dan memberikan produk berkualitas bagi konsumen.
6. Alternatif Bagi Pelaku Thrifting
Sementara menunggu regulasi resmi, pelaku bisnis thrifting bisa mencari alternatif agar tetap legal. Salah satunya adalah mendirikan usaha penjualan barang preloved dengan fokus pada barang yang telah melalui proses cuci bersih, steril, atau refurbish.
Beberapa usaha juga beralih ke model konsinyasi atau kerjasama dengan toko resmi untuk menjual barang bekas secara sah. Hal ini tidak hanya menjaga legalitas, tetapi juga meningkatkan kepercayaan konsumen dan potensi pendapatan jangka panjang.
7. Perspektif Konsumen dan Tren Keberlanjutan
Meski regulasi masih menjadi tantangan, minat konsumen terhadap thrifting tidak menunjukkan penurunan. Banyak konsumen muda yang menganggap thrifting sebagai bagian dari gaya hidup sadar lingkungan dan cara mengurangi limbah fashion.
Pernyataan Purbaya menekankan pentingnya kesadaran konsumen akan risiko membeli produk ilegal, termasuk potensi kesehatan dan kualitas barang. Edukasi konsumen menjadi kunci agar mereka tetap memilih produk yang aman, legal, dan mendukung keberlanjutan industri fashion.
Kesimpulan
Bisnis thrifting di Indonesia memang sedang booming, tetapi pernyataan Purbaya menegaskan bahwa pembayaran pajak tidak menjadikan bisnis ini legal. Alasan utamanya terkait kesehatan, keamanan, dan legalitas barang bekas yang dijual kembali.
Pelaku usaha dihadapkan pada tantangan untuk tetap kreatif namun patuh hukum. Pemerintah juga tengah merancang regulasi agar bisnis thrifting bisa dijalankan secara legal di masa depan, sambil tetap memberikan perlindungan bagi konsumen.
Sementara itu, konsumen diimbau untuk tetap waspada dan memilih barang preloved yang aman dan terpercaya. Bisnis thrifting di Indonesia tetap memiliki potensi besar, tetapi keberlanjutan usaha akan tergantung pada kemampuan pelaku bisnis untuk menyesuaikan diri dengan regulasi dan menjaga kualitas produk.